Prakarsa Talk, Menyoal Perlindungan dan Pemenuhan Hak Lansia

Geriatri.id - Kebijakan perlindungan sosial dan pemenuhan hak-hak lansia di Indonesia disebut masih minim dan terbatas. Kebijakan yang ada sampai saat ini belum adaptif dan belum berkembang sesuai dengan kebutuhan dan proyeksi masa depan.

Perlindungan sosial pun dianggap belum menjangkau sepenuhnya penduduk lansia (terutama kelompok lansia rentan) dan kelompok rentan lainnya, seperti para penyandang disabilitas. Di Indonesia, tingkat kemiskinan lansia relatif lebih tinggi dari kelompok umur lainnya.

 “Kebijakan lansia masih menjadi anak tiri,” kata manajer program Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum dalam acara Prakarsa Talk dengan tema Menghadirkan Negara Dalam Melindungi Lansia di Hotel Double Tree Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (29/1/2020).

Herni mengatakan, pemerintah Indonesia perlu segera menyiapkan kerangka regulasi jaminan kesejahteraan dan bermartabat untuk lansia.

Penduduk lanjut usia di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring kemajuan di bidang kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya angka kematian. Dalam waktu hampir lima dekade, persentase lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat (1971-2019), yakni menjadi 9,6 persen (25,64 juta). 

Indonesia sedang bertransisi menuju ke arah penuaan penduduk. Apabila diimbangi dengan kemampuan kelompok lanjut usia yang bisa mandiri, berkualitas, dan tidak menjadi beban masyarakat, maka secara tidak langsung ageing population akan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan nasional.

Herni mengatakan kebijakan perlindungan sosial dan pemenuhan hak-hak lansia di Indonesia masih minim dan terbatas. Kebijakan yang ada sampai saat ini belum adaptif dan belum berkembang sesuai dengan kebutuhan dan proyeksi masa depan. “Kebijakan lansia masih menjadi anak tiri,” kata Herni.

Kebijakan yang berpihak dan tidak setengah hati, ujar Herni, perlu dikaji secara serius antar kementerian dan lembaga serta pihak-pihak lainnya.

Herni mengatakan penguatan skema perlindungan sosial  pada dasarnya harus berorientasi pada 5 (lima) tujuan utama. Pertama, penguatan bantuan dan jaminan sosial bagi lansia. Kedua, perluasan jangkauan dan meningkatkan inklusivitas layanan publik bagi lansia, termasuk jaminan kesehatan dan skema jaminan sosial lainnya.

Ketiga, penguatan layanan sosial berbasis komunitas bagi lansia. Keempat, peningkatan ketersediaan, kualitas dan kompetensi SDM kesejahteraan sosial lansia. Terakhir, peningkatan kualitas hidup lansia di tingkat masyarakat, termasuk pemanfaatan teknologi informasi digital untuk mengurangi eksklusi sosial.

Dalam rekomendasinya, Prakarsa meminta pemerintah menaikkan jumlah nominal bantuan kepada lansia. Nominal ini disesuaikan dengan angka garis kemiskinan nasional pada Maret 2019 sebesar Rp425.250/bulan/lansia.

Pemerintah pun perlu meningkatkan sistem monitoring dan evaluasi dengan cara mengintegrasikan kerja-kerja pendampingan program keluarga harapan (PKH) dengan program Program Asistensi Sosial Penduduk Lanjut Usia Terlantar (ASLUT). Peningkatan kapasitas pendamping PKH menjadi salah satu prasyarat utama dan perlunya membuka partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam monitoring evaluasi terhadap program lansia.

Pemerintah perlu segera membuka ruang bagi aktor non-pemerintah dalam kegiatan kajian atau review regulasi, misalnya revisi UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pelibatan kelompok masyarakat di luar pemerintah pun perlu dalam program perlindungan dan kesejahteraan lansia agar prioritas jangka menengah (2020-2024) dan jangka panjang (2025-2050).

Rekomendasi lainnya, Pemerintah dan non-pemerintah perlu mengkaji persepsi dan ekspektasi anak muda mengenai masa pensiun untuk mempersiapkan kebijakan perlindungan lansia di masa yang akan datang yang susuai dengan kebutuhan.(ymr)

Foto: Yandi