Bantu Dokter, Penggunaan AI Harus Prioritaskan Keselamatan Pasien

Geriatri.id - Kehadiran Teknologi Artificial Intelligence (AI) menawarkan tingkat akurasi tinggi dalam melakukan diagnostik medis. AI memberikan perspektif baru tentang bagaimana teknologi ini dapat diintegrasikan ke dalam praktik kesehatan di masa depan. 

Pemanfaatan teknologi AI diketahui mampu mengidentifikasi penyakit secara cepat berdasarkan gejala yang ada. 

Hal ini menjadi potensi besar, khususnya dalam situasi di mana efisiensi dan perluasan layanan kesehatan sangat diperlukan.

Meski teknologi AI meningkatkan efisiensi diagnostik, Chief of Technology Transformation Office (TTO) Kementerian Kesehatan RI, Setiaji, S.T, M.Si, menegaskan, penerapan kecerdasan buatan harus mengutamakan keselamatan pasien.

“Dokter tetap memposisikan diri menjadi penentu keputusan, terutama dalam hal pertimbangan kemanusiaan serta etika medis, dan memposisikan AI sebagai pemberi rekomendasi diagnosis,” ujarnya di laman Kemenkes. 

Baca Juga: 14 Sindrom Geriatri yang Sering Dikeluhkan Lansia

Menurutnya, AI selayaknya dijadikan sebagai alat bantu untuk  mendukung dokter dalam membuat keputusan medis lebih cepat dan berdasarkan informasi yang ada. 

"Integrasi AI ke dalam praktik klinis harus dilakukan dengan memprioritaskan etika dan keselamatan pasien,” katanya. 

Dalam praktik medis, integrasi AI juga harus memastikan, penggunaan teknologi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tanpa mengabaikan pentingnya keahlian medis manusia.

Setiaji menekankan pentingnya melakukan penilaian kritis dalam memahami dan mengimplementasikan hasil penelitian terkait keakuratan AI untuk praktik medis sehari-hari di Indonesia.

“Penting untuk mempertimbangkan metodologi penelitian yang dipakai oleh AI, termasuk jenis data yang diolah, program yang dijalankan, dan apakah sampel penelitian tersebut telah merepresentasikan populasi secara umum,” tambahnya.

“Penelitian yang dilakukan di lingkungan yang terkontrol mungkin tidak dapat menggambarkan kompleksitas kasus yang dihadapi dalam praktik klinis, khususnya di Indonesia.”

Halaman: